Prinsip Keadilan Profit (laba) dalam Islam


Oleh: Rohmadi Ibn Saib* 

Dunia perdagangan memiliki ungkapan “di mana ada uang di situ ada barang”.Memang ungkapan tersebut relevan dengan dunia perdagangan saat ini yang menawarkan aneka ketersediaan barang kebutuhan manusia. Bahkan hampir semua barang yang dibutuhkan oleh manusia tersedia, dan sulit dikatakan : “uang ada tapi barangnya tidak ada!”.
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar ungkapan “uang bukan segala-galanya tapi segala-galanya susah tanpa uang”. Kedua ungkapan tersebut menggiring kita pada pengertian bahwa uang memiliki peran yang sangat penting bagi adanya barang maupun adanya layanan yang baik. Hal itu bisa berlaku di berbagai lini kehidupan; baik di instansi pendidikan dalam bentuk komersialisasi ilmu maupun di pasar dalam bentuk komersialisasi barang.
Ironis memang jika instansi pendidikan berubah menjadi instansi yang memperdagangkan ilmu dan para pengajarnya berlomba-lomba menjadi pedagang ilmu dalam bentuk pelajaran tambahan maupun berjualan paket buku pelajaran, sedangkan nilai-nilai kebijaksanaan, kasih sayang dan penanaman sikap hidup bersahaja tidak lagi menjadi orientasi.
Hal itu bisa jadi dipicu oleh pandangan hidup bahwa “uang adalah segala-galanya”. Sebenarnya ironis tapi memang uang bukan hal yang sepele bagi tegaknya hidup seorang pribadi bahkan tegaknya agama. Mungkin itulah yang disinyalir oleh sosok manusia teladan Muhammad SAW, sehingga beliau bersabda: “Tidaklah tegak suatu agama tanpa adanya dinar” (HR. Tirmidzi).
Di dunia ini peranan uang sebagai alat transaksi dan standart nilai untung-rugi memang sangatlah penting, namun demikian betapapun pentingnya uang -sehingga karena pentingnya mendorong orang berani melakukan apa saja-, (khususnya dalam hal perdagangan) umat Islam hendaknya memperhatikan soal keadilan dalam menentukan keuntungan (laba, profit), sebab jika tidak berhati-hati bisa menjadikannya masuk neraka.
Terkait masalah keuntungan, ada pertanyaan-pertanyaan mendasar, diantaranya : (1) Apakah produsen atau pedagang boleh menentukan berapapun besarnya keuntungan (profit) yang mereka inginkan asalkan pembeli mau (ridho)membeli barangnya? (2) Bagaimana keuntungan itu bisa disebut adil dan apa batasannya?
Jawaban atas pertanyaan ini menjadi sangat krusial untuk diketahui oleh pembeli lebih-lebih penjual, ketika mereka dihadapkan pada sistem perdagangan kontemporer yang mana pada pembeli menghadapi keterbatasan informasi. Sedangkan produsen dan pedagang sudah memberi bandrol (label) harga tetap, sebagaimana yang ada di supermarket atau retail-retail. Kondisi demikian praktis menghilangkan proses tawar-menawar untuk menghasilkan keseimbangan harga, dan juga pembeli hanya menjadi penerima harga (price taker) yang telah ditetapkan oleh pedagang.
Ibnu Taimiyah (661-728 H/1263-1328 M) di dalam kitab Majmu’ Fatawa,“Kompensasi (keuntungan) yang setara akan diukur dan ditaksir dengan hal-hal yang setara, dan inilah esensi keadilan (dalam perdagangan-pen)”. Sehingga menurutnya, bagian penting dalam menentukan harga yang adil adalah keuntungan yang adil, sebab biaya produksi relative bisa diukur sedangkan keuntungan (laba) dasar penentuannya tidak ada standasrisasi. Dengan pengertian bahwa laba yang adil adalah laba yang normal tanpa adanya unsur merugikan (dzulm) dan eksploitatif (ghaban fahiys) serta tidak mengambil keuntungan yang tidak lazim dengan memanfaatkan ketidaktahuan pembeli terhadap kondisi pasar.
Meminjam teori laba Ibnul ‘Arabi (Suara Hidayatullah, Edisi 07/XX/Nopember 2007 hal. 30): “keuntungan adalah kelebihan yang dapat dibenarkan oleh nilai yang setara”. Jika laba yang diambil melebihi nilai yang setara, maka termasuk riba fadhl karena mengandung eksploitasi kepada pembeli. Oleh karena itu menurut Ibnul ‘Arabi seseorang boleh mengambil keuntungan setara dengan nilai cost (biaya) yang dikeluarkan untuk barang yang dijual tersebut.
Sedangkan menurut Prof. Saiful Azhar Rosly (Suara Hidayatullah, Edisi 07/XX/Nopember 2007 hal. 31): “nilai setara yang dapat membenarkan seseorang mengambil keuntungan adalah setara dengan nilai ketika seseorang menaggung resiko, setara dengan nilai berusaha (ikhtiyar) dan setara dengan tanggung jawab yang diemban. Sehingga keuntungan atas transaksi bisnis haruslah wajar dan setara mempertimbangkan tiga hal tersebut.
Seorang pedagang dapat menentukan berapapun keuntungan yang akan dia ambil tetapi harus mempertimbangkan nilai keadilan dan kesetaraan. Tidak di benarkan pedagang mengambil keuntungan atas dasar kerelaan “buta” Si Pembeli karena tidak tahu perkembangan pasar.
*Rohmadi Ibn Saib, Staff Pengajar Pesantren Darut Tilawah Ponorogo

  • Prinsip Keadilan Profit (laba) dalam Islam
  • geong